Riwayat Pakubuwono II (4): Pakubuwono II Wafat di Tengah Kecamuk Perang Perebutan Takhta

Sri Susuhunan Pakubuwana II (Id.wikipeda.org)

Sri Susuhunan Pakubuwono II (Id.wikipeda.org)

Lahir 8 Desember 1711
Naik tahta 15 Agustus 1726
Wafat 20 Desember 1749
Ayah Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Jawa, Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah ing Kartasura
Ibu Ratu Amangkurat atau Ratu Kencana atau Ratu Ageng
Nama kecil Raden Mas Prabasuyasa
Gelar penobatan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana II
Gelar lengkap Sampeyan Dalam Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Prabhu Sri Pakubuwana II Senapati ing Alaga Ngabdulrahman Saiyiduddin Panatagama
Istri Raden Ayu Sukiya/Subiya/Kanjeng Ratu Mas/Kanjeng Ratu Kencana, Ratu Mas Wirasmara, putri Pangeran Arya Adipati Dipanegara, Raden Ayu Tambelek, Raden Ayu Gedhong, putri Pangeran Arya Mataram
Anak 29 orang (11 putra dan 18 putri)

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana II atau Pakubuwono II tak lepas dari konflik perebutan kekuasaan sepanjang masa kekuasaannya. Bahkan sejak dinobatkan sebagai raja Kraton Kartasura Hadiningrat, 15 Agustus 1726, pria bernama kecil Raden Mas Prabasuyasa ini  sudah mewarisi konflik perebutan kekuasaan yang terjadi sejak masa kakeknya, Pakubuwono I, berkuasa.

Sebagian sejarawan biasa menyebut perang suksesi (successie-oorlog) Jawa seri I hingga III untuk menyebut konflik-konflik berdarah yang memunculkan trah Pakubuwono itu. Arkeolog tak banyak yang tampak menempuh cara serupa, mungkin karena pada kenyataannya intrik politik semacam itu bahkan telah dikenal pada era Ken Arok yang lebih senior sebagai “Jawa”.

Intrik politik yang dicontohkan Pangeran Puger untuk menyingkirkan keponakannya, Amangkurat III,  dengan membocorkan persekutuan Amangkurat III dengan Suropati kepada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Semarang disebut sejarawan-sejarawan itu sebagai pangkal Perang Suksesi Jawa Seri I. Kendati mestinya tak patut diteladani, hasil persekutuan dengan VOC itu konkret memberikan keuntungan kepada Puger.

Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwono I dan memicu meletusnya Perang Suksesi Jawa I yang berlangsung 1704-1708. Perang baru berakhir setelah pasukan VOC, Madura, dan Kartasura melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah pelarian Amangkurat III di Jawa Timur. Serangan itu menyebabkan Surapati terbunuh di Bangil dan selanjutnya Amangkurat III dibuang ke Sri Lanka hingga wafat di sana.

Sedangkan Perang Suksesi Jawa II adalah perang yang terjadi sesudah Pakubuwono I mangkat, Februari 1719. Putranya, Mangkurat Jawa atau Amangkurat IV (1719-1726), yang menggantikan sebagai raja dimusuhi banyak pihak, termasuk adik-adiknya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, yang menyerang istana pada 1719. Paman mereka, Arya Mataram memilih meninggalkan istana menuju pesisir utara dan memproklamasikan diri sebagai raja tandingan.

Perang Suksesi Jawa II itu berlangsung hingga 1723, tiga tahun sebelum Amangkurat IV wafat. Perang itu tidak langsung berakhir setelah Arya Mataram menyerah, karena pemberontak juga didukung keturunan Surapati dan Surengrana dari Surabaya. Setelah VOC terus mengejar mereka meskipun telah melarikan diri ke arah timur, barulah sisa-sisa pemberontak itu menyerah.

Perang Suksesi Jawa III melibatkan Pakubuwono II dan Pakubuwono III sekaligus. Pemicu perang saudara yang oleh sebagian sejarawan disebut “suksesi” ini semata-mata kepentingan materialistis pribadi bangsawan kraton. Dalam bahasa Indonesia, kata “suksesi” sejatinya bermakna “penggantian—terutama di lingkungan pimpinan tertinggi negara—karena pewarisan ataupun sesuai undang-undang”.

Perang Suksesi Jawa III diawali dengan sayembara yang diselenggarakan Pakubuwono II untuk menghabisi sisa-sisa pemberontak yang terlibat Geger Pacinan atau pemberontakan Sunan Kuning. Sebagaimana dicatat Komite Yasadipuran I dalam Penget Lan Lelampahanipun Swargi R. Ng. Jasadipura I atau Tus Pajang, situasi seputaran Desa Sala di awal era Kraton Solo juga belum aman benar. “Wekdal pindhahipun karaton punika, ing Surakarta dereng tentrem. Ing pundi-pundi taksih kathah gegeran utawi kraman [Saat kepindahan kraton tersebut, Surakarta belum tenteram, di mana-mana masih kerap terjadi keributan atau pertengkaran.”

Sumber-sumber sejarah mencatat di antara sisa-sisa pemberontak itu ada Mas Said yang kelak menjadi Pangeran Mangkunagara I dan Pangeran Mangkubumi yang lebih berpengaruh dan kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I. Namun, di mata Pakubuwono II hanya Mas Said yang aktif merongrong kekuasaan dengan menguasai wilayah Sokawati, sedangkan pergerakan Mangkubumi sulit terdeteksi karena kadang-kadang memberontak tetapi kadang-kadang aktif membangun kraton.

Guna menumpas sisa-sisa pemberontak yang merongrong kekuasaannya, Pakubuwono II menyelenggarakan sayembara berhadiah tanah Sokawati bagi siapa pun yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said. Pangeran Mangkubumi pada tahun 1746 memenangi sayembara itu, namun atas nasihat Patih Pringgalaya maka Pakubuwono II menahan hadiah sayembara tersebut.

Dalam waktu hampir bersamaan, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff datang ke Kraton Solo untuk erundingkan perluasan lahan yang dikelola VOC. Berdasarkan perjanjian 1743, VOC berhak mengelola wilayah pesisir dan sepanjang aliran sungai yang mengarah ke laut. Kini, VOC ingin mengelola seluru wilayah pesisir beserta pedalamannya.

Pakubuwono II menyetujui tawaran itu dan meminta kompensasi sewa lahan senilai 20.000 real Spanyol per tahun. Namun, setelah kesepakatan tersebut diberitahukan kepada para penasihatnya, Mangkubumi menilai 20.000 real Spanyol per tahun terlalu murah jika dibandingkan dengan pendapatan yang bisa diperoleh jika wilayah tersebut disewakan kepada para saudagar.

Pangeran Mangkubumi menilai Pakubuwono II terlalu gegabah karena mengambil keputusan sepenting itu tanpa berkonsultasi dengan para pembesar lain di Kraton Solo. Kemarahan Mangkubumi bertambah ketika Van Imhoff ikut meyakinkan raja bahwa hadiah sayembara senilai 3.000 cacah atas daerah Sokawati bisa memberikan kekuatan terlalu besar bagi Mangkubumi sehingga Van Imhoff menyarankan hadiah tersebut tidak perlu diserahkan.

Sakit hati Pangeran Mangkubumi membuncah setelah Van Imhoff di hadapan para kerabat kraton yang hadir dalam sebuah pertemuan di istana menudingnya bersikap terlalu ambisius. Pada bulan Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan kraton untuk bergabung dengan Mas Said. Perseteruan berdarah antarsaudara inilah yang oleh sebagian pendidik Sejarah Indonesia disebut Perang Suksesi Jawa III.

Di tengah gentingnya situasi, pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II jatuh sakit. Joan Andries Baron van Hohendorff, kawan lamanya dalam mempertahankan Kraton Kartasura yang kini menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, tiba di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja. Pakubuwana II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada Van Hohendorff melalui perjanjian yang kerap dicatat sejarawan sebagai Kontrak 11 Desember 1749.

Dalam perjanjian yang ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 itu disebutkan hanya VOC yang berkuasa atas kerajaan dan berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Kontrak 11 Desember 1749 itu sekaligus menandai berpindahnya kedaulatan Kasunanan Surakarta Hadiningrat ke tangan kongsi dagang Hindia Belanda itu.

Pakubuwono II meninggal dunia akibat sakit pada malam Minggu Kliwon 11 Sura 1675 Jawa, atau 20 Desember 1749. Karena kala itu tengah berkecamuk perang dengan Mangkubumi, jenazah Pakubuwono II dikuburkan di Permakaman Astana Laweyan. Setelah peperangan usai, jasad Pakubuwono II dipindahkan ke Permakaman Astana Imogiri, Yogyakarta, dimakamkan di area Permakaman Kedaton Pakubanan.

Pakubuwono II digantikan Raden Mas Suryadi, putra kelima dari 29 anak-anak Pakubuwono II. Penobatan Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwono III dilangsungkan di tengah berkecamuknya perang perebutan takhta di antara keturunan raja-raja Mataram.

 

Sumber:

Tinggalkan komentar